Selasa, 25 Juli 2017

contoh makalah tentang hukum syar'i terbaru



MAKALAH
HUKUM SYAR’IE
Disusun oleh:
                       Fawaid Arifin
                        Nurul janah
                           Sunaini
stain-pamekasan
PRODI : PBA
JURUSAN : TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PAMEKASAN
TAHUN 2012/2013
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis ucapkan  kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul  “ Hukum Syar’ie ’’.
Dengan adanya suatu tugas makalah penulis sangat bersyukur karena dengan adanya bisa menambah wawasan kita serta pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu.
Walaupun masih banyak kekurangan dalam penulisan  makalah  ini, namun penulis berharap agar  makalah ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan baik di dalam kampus atau diluar kampus.
Dalam melaksanakan makalah ini banyak pihak yang terlibat dan membantu sehingga dapat menjadi satu makalah yang dapat  di baca dan dimanfaatkan .

Akhirnya kritik dan saran  yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya . Sekian dari saya mengucapkan banyak terima kasih .


Pamekasan: 12-04-2012
                                                       Penulis








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dipilihnya “ Hukum Syar’ie ” sebagai judul makalah karena pentingnya judul ini untuk dikaji, dipahami dan dipelajarinya dengan sebaik mungkin. Selain memberikan keterangan lebih atas perselisihan yang terjadi diantara para imam madzhab dalam sub judul makalah ini. Karena pada dasarnya perselisihan para imam tersebut disebabkan perbedaan mereka dalam menafsirkan nushus ( teks ) termasuk di dalamnya teks ( al-iqtidha’,  al-takhyir,  al-wadh’u  ) baik yang bersumber dari al-qur’an maupun hadist.

Ketika perbedaan para imam madzhab ataupun sebagian ulama dalam masalah judul ini yaitu  ( Hukum Syar’ie ) semakin mengental dan menempati posisi yang sangat fital  dalam permasalahan ini. Ketika kaum muslimin berkewajiban untuk menyampaikan ( tabligh ) ajaran ( risalah ) islam kepada komunitas lain, saya memandang bahwa judul makalah ini wajib diangkat ke permukaan sebagai saham dalam dakwah islamiyah. Di sisi lain yang menjadi penyebab untuk dibahas sub judul ini karena judul ini begitu sulit dan rumit sehingga membutuhkan kerja keras dan kajian yang mendalam.

A.    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Hukum Syar’ie ?
2.      Apa makna epistemologi As-Syar’u ?
3.      Berapa pembagian hukum syar’ie ?

B.      Tujuan Masalah
1.      Ingin mengetahui pengertian Hukum Syar’ie secara dekat
2.      Ingin mengetahui pengertian dari epistemologi As-Syar’u
3.      Ingin mengetahui pembagian Al-Hukm al-Syar’i

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Syar’i

     Materi al-hukm di dalam bahasa mengandung beberapa arti yang terpenting diantaranya:
Pertama: al-hukm yang berarti al-hikmah ( bijaksana ) dari al-ilm ( pengetahuan ). Allah Swt adalah al-hakim yang berarti mempunyai hukum. Lafadz al-hikmah adalah ibarat untuk mengetahui sebaik-baik perkara dengan sebaik-baik pengetahuan. Maka orang yang mahir dan mengetahui detailnya produksi juga disebut al-hakim. Lafadz al-hukm dan al-hakim dengan arti al-hakim adalah hakim ( qadli ), maka sesuai dengan format fa’il dengan arti fa’il atau subjek yang menghukumi sesuatu daari undang-undang atau benar-benar memahaminya. Sedangkan lafadz hakama berati menjadi hakiman                 ( bijaksana ), pepatah mengatakan:
“ wa abghidh baghidhaka baghdan ruwaida idza hawalta an tuhakkima” 
Yang berarti jika kamu hendak menjadi hakim maka semestinya kamu “begini”.

Kedua: al-hukm dengan arti al’ilm dan al-fiqh. Allah berfirman “wa atainahu al-hukma shabiyya” yaitu yang berarti pengetahuan dan pemahaman, ini apa yang dikemukakan yahya ibn zakariya yaitu bentuk masdar dari hakama yahkumu.

Sebuah hadist berbunyi “inna min al-syi’ri lahukman wa inna min al-bayani lasihran”, dalam sebuah riwayat “inna min al-syi’ri lahikmatan” yang berarti al-hukm. Juga hadis yang berbunyi “al-khilafatu fi quraisy wa al hukm fi al anshar”. Hadis tersebut menghususkan kaum anshar dengan al hukm, karena mayoritas Fuqaha dari para sahabat adalah dari kaum anshar. Seperti Muadz bin jabal, Ubay bin ka’ab dan Zaid bin Tsabit.

Ketiga: al-hukm yang berarti al-man’u atau mencegah dari kelaliman. Orang arab berkata: hakamtu, ahkamtu dan hakkamtu dengan ma’na mana’tu ( saya mencegah ), maka seorang pencegah diantara manusia disebut al-hakim, karena dia mencegah orang lalim untuk berbuat kelaliman. Dikatakan “hakamtu al-dabbata wa ahkamtuha” saya kendalikan tunggangan ini jika dia bisa mencegahnya. Maka al-hakamah berarti tali kekang yang dipasang oada hidung atau mulut kuda sehinga mencegah kuda dari menyalahi perintah penunggangnya. Prularnya adalah hukam.

Keempat: al-hukm dengan arti al-qadlau bi al-adl ( putusan secara adil ), prularnya adalah ahkam. Dia memutuskan suatu perkara hakama yahkumu hukman wa hukmatan. Maka al-hukmu adalah bentuk mashdar dari hakama “bainahum” yahkumu yang berarti memutuskan perkara baik atau buruk itu bagi objeknya. Al-Azhari berkata: al-hukmu: al-qadlau bi al’adl Al-Nabighah berkata: jadilah seorang hakim seperti seorng wanita dari desa jika saya berkata  maka saya benar, sama seperti wanita ini yang jika melihat burung dara dan menghitungnya dia tidak salah berapa jumlahmya.

B.     Makna Epistemologi Al-Syar’u

Secara epistimologi lafadz al-syar’u dan al-syariatu mempunyai beberapa padanan diantaranya: ad-din ( agama ), al-thariq, al-minhaj, al-madzhab, al-sunah ( yang semua bermakna jalan yang harus ditempuh atau dilalui )

Di dalam lisan al-arab: “al-syir’atu dan al-syari’atu dalam perkataan bangsa arab adalah tempat mengalirnya air bisa juga sumber mata airyang dilalui manusia, maka manusia akan minum darinya dan mengambil airnya. Bahkan akan memerintah hewan ternaknya untuk menyebranginya dan minum air dari aliran tersebut. Orang arab tidak menamakn alian air ini dengan al-syari’ah kecuali jika airnya penuh dan alirannya tidak terputus.

Al-syariatu dan al-syar’u dengan demikian adalah apa yang ditetapkan Allah Swt dari agama dan diperintahkan untuk dikerjakan seperti puasa shalat haji zakat dan seluruh amal kebajikan  yang diambil dari lafadz syathi al-bahr, diriwayatkan oleh Kara. Yang sesuai dengan firman Allah Swt “tsumma ja’alnaka minkum ala syariatin min al-amri”, juga firman Allah Swt “li kullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan”. Dikatakan dalam tafsirnya: al-syir’atu adalah agama dan al-minhaju adalah jalan tetapi dikatakan pula bahwa al-syir’atu dan al-minhaju keduanya berarti jalan, dan jalan dalam kontek ini adalah agama.

Dalam kamus al-muhith “al-syari’atu adalah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk para hambanya dan sesuatu yang lurus nampak jelas dari berbagai jalan seperti lafadz al-syir’ah dengan kasrahnya syin, sama persis dengan lafadz al-itbah dan murid al-syaribah seperti al-musri’ah.

Sedangkan dalam al-misbah al-munir “al-syir’ah berarti agama, al-syar’u dan al-syariatu juga berarti sama, diambil dari kata al-syariah yang berarti tempat dimana manusia menimba air. Dinamakan demikian karena jelas dan terangnya. Bentuk prularnya adalah syara’I dan syara’a Allahu lana kadza-yasyra’uhu berarti menjelaskan atau menerangkannya.


 

C.    Al-Hukm Al-Syar’i

Sebelum kita membahas terminologi al-hukm al-syar’i, menurut ulama usul fiqh terdapat dua kelompok madzhab ulama usul fiqh, kelompok yang menyakini akan kalam nafsi sejak dari zaman azali dan kelompok yang tidak menyakininya. Karena perbedaan mereka dalam terminologi al-hukm al-syar’I disebabkan oleh perbedaan kenyakinan mereka atas tetapnya kalam nafsi bagi pemiliknya sejak zaman azali. Madzhab mayoritas ulama usul fiqh memberikan terminologi ul-hukm al-syar’ie yaitu “ khitab Allah yang berhubungan dengan tingkah laku para mukallaf ( al-muta’allaqu bi af’ali al-mukallafin ) mengenai suatu permintaan ( al-iqtidha’), pilihan ( al-takhyir ) dan al-wadh’u”. ini merupakan definisi yang paling bagus.

Al-khithab secara bahasa berarti perkataan yang bermanfaat kepada orang lain jika dia mendengarnya, karena bentuk masdar dari khataba yukhatibu khitaban wa mukhathabatan. Apabila khataba berbentuk ism maf’ul atau al-mukhatabah bihi maka berarti perkataan yang bermanfaat yang tertuju kepada orang lain untuk memahamkan.

Sedangkan secara istilah ilmu ushul al-khitab digunakan untuk perkataan yang dapat digunakan untuk memberikan  pemahaman, baik pemahaman tersebut melalui aksi ( amal ) atau tidak yang terpenting adalah proses pemahaman.

Ulama ushul fiqh menginginkan definisi diatas adalah makna pengistilahan karena menghendaki al-khitab adalah kalam allah al-nafsy yaitu mengisyaratkan lafadz perkataan allah atau yang lainnya dari dalil-dalil syar’i.

( fi al-azali ) menjadi maushuf karena dapat digunakan sebagai pengarah terhadap aksi, jika terdapat mukalaf melalui sikap pembebanan setelah diutusnya rasul, sebagaimana dapat digunakan sebagai sarana pemahaman.

( al-khitab ) adalah jenis dari definisi yang memuat seluruh khitab, apakah berasal dari Allah atau dari yang lain seperti manusia, jin, dan malaikat. Penambahan lafadz jalalah ( Allah ) setelah al-khitab menjadi pengikat pertama dalam definisi, jika al-khitab dari selain Allah maka perkataan mereka tidak disebut sebagai al-hukm al-syar’ie.

D.    Pembagian Hukum Syar’ie
                Menurut ahli usul fiqh hukum syar’ie bukanlah satu macam, akan tetapi terbagi     menjadi tiga macam:
1.      Al-iqtidla’: berarti mengandung permintaan yang mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, secara pasti dan merupakan suatu keharusan. Maka al-iqtidla’ memuat empat macam yaitu al-ijab dan al-nadb yaitu jika permintaan untuk mengerjakan sesuatu tersebut secara pasti atau tidak, serta al-tahrim dan al-karahah jika permintaan untuk meninggalkan sesuatu tersebut secara pasti atau tidak, atas dasar ini maka firmannya “ wallahu khalaqakum wa ma ta’malun “ tidak termasuk dalam al-iqtidla’ ini karena berhubungan dengan tingkah laku dari asal penciptaan bukan menunjukan thalab.
2.      Al-takhyir: penyamarataan antara pelaksanaan sesuatu atau meninggalkannya tanpa ada prioritas pada salah satu antara keduanya.
3.      Al-wadl’u: khitab yang menerangkan bahwa sesuatu perkara berkaitan erat dengan perkara yang lain, baik menjadi sebab terjadinya sesuatu atau menjadi syarat di dalam perkara lain tersebut atau menjadi penyegah dari perkara yang lain.    

   


    
























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk sub-sub judul  di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat hubungan antara ketiga sub-sub judul tersebut. Bahwasannya epistemologi lafadz al-syar’u dan al-syariatu mempunyai beberapa padanan diantaranya: ad-din ( agama ), al-thariq, al-minhaj, al-madzhab, al-sunah ( yang semua bermakna jalan yang harus ditempuh atau dilalui )

Di dalam lisan al-arab: “al-syir’atu dan al-syari’atu dalam perkataan bangsa arab adalah tempat mengalirnya air bisa juga sumber mata airyang dilalui manusia. Sedangka pembagian hukum syar’ie terbagi menjadi tiga bagian, pertama Al-iqtidla ( permintaan ), kedua Al-takhyir dan yang terakhir al-wald’u.

B. Saran-Saran
Penulis menyadari akan keterbatasan dari keilmuan dan pemahaman dalam memahami dari materi keterampilan membaca, maka penulis meminta dengan sangat agar bapak dosen dapat membantu menjelaskan dari isi makalah ini agar keilmuan yang kita dapat menjadi lebih sempurna.










DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Membangun Metodologi Ushul Fiqih, 2000, Ciputat Press. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rangkuman Kisah nabi

BAGI YG ISLAM. TAK DIBACA SAYANG_*.👇 ✐ Selepas Malaikat Israfil meniup sangkakala (bentuknya seperti tanduk besar) yang memekak...