MAKALAH
HUKUM
SYAR’IE
Disusun
oleh:
Fawaid Arifin
Nurul janah
Sunaini

PRODI
: PBA
JURUSAN
: TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PAMEKASAN
TAHUN
2012/2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
penulis ucapkan kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah
yang berjudul “ Hukum Syar’ie ’’.
Dengan adanya
suatu tugas makalah penulis sangat bersyukur karena dengan adanya bisa menambah
wawasan kita serta pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu.
Walaupun masih
banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, namun penulis
berharap agar makalah ini dapat
dipergunakan dan di manfaatkan baik di dalam kampus atau diluar kampus.
Dalam
melaksanakan makalah ini banyak pihak yang terlibat dan membantu sehingga dapat
menjadi satu makalah yang dapat di baca
dan dimanfaatkan .
Akhirnya kritik
dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi para pembaca umumnya . Sekian dari saya mengucapkan banyak terima
kasih .
Pamekasan: 12-04-2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dipilihnya “ Hukum Syar’ie ”
sebagai judul makalah karena pentingnya judul ini untuk dikaji, dipahami dan
dipelajarinya dengan sebaik mungkin. Selain memberikan keterangan lebih atas
perselisihan yang terjadi diantara para imam madzhab dalam sub judul makalah
ini. Karena pada dasarnya perselisihan para imam tersebut disebabkan perbedaan
mereka dalam menafsirkan nushus ( teks
) termasuk di dalamnya teks ( al-iqtidha’,
al-takhyir,
al-wadh’u ) baik
yang bersumber dari al-qur’an maupun hadist.
Ketika perbedaan para imam madzhab ataupun sebagian
ulama dalam masalah judul ini yaitu ( Hukum
Syar’ie ) semakin mengental dan menempati posisi yang sangat fital dalam permasalahan ini. Ketika kaum muslimin
berkewajiban untuk menyampaikan ( tabligh ) ajaran ( risalah ) islam kepada
komunitas lain, saya memandang bahwa judul makalah ini wajib diangkat ke
permukaan sebagai saham dalam dakwah islamiyah. Di sisi lain yang menjadi
penyebab untuk dibahas sub judul ini karena judul ini begitu sulit dan rumit
sehingga membutuhkan kerja keras dan kajian yang mendalam.
A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hukum Syar’ie ?
2. Apa makna epistemologi As-Syar’u ?
3. Berapa pembagian hukum syar’ie ?
B. Tujuan Masalah
1. Ingin mengetahui pengertian Hukum Syar’ie secara dekat
2. Ingin mengetahui pengertian dari epistemologi As-Syar’u
3. Ingin mengetahui pembagian Al-Hukm
al-Syar’i
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syar’i
Materi al-hukm di dalam bahasa mengandung
beberapa arti yang terpenting diantaranya:
Pertama:
al-hukm yang berarti al-hikmah ( bijaksana ) dari al-ilm ( pengetahuan ). Allah
Swt adalah al-hakim yang berarti mempunyai hukum. Lafadz al-hikmah adalah
ibarat untuk mengetahui sebaik-baik perkara dengan sebaik-baik pengetahuan.
Maka orang yang mahir dan mengetahui detailnya produksi juga disebut al-hakim.
Lafadz al-hukm dan al-hakim dengan arti al-hakim adalah hakim ( qadli ), maka
sesuai dengan format fa’il dengan arti fa’il atau subjek yang menghukumi
sesuatu daari undang-undang atau benar-benar memahaminya. Sedangkan lafadz
hakama berati menjadi hakiman
( bijaksana ), pepatah mengatakan:
“ wa abghidh baghidhaka
baghdan ruwaida idza hawalta an tuhakkima”
Yang berarti jika kamu
hendak menjadi hakim maka semestinya kamu “begini”.
Kedua: al-hukm
dengan arti al’ilm dan al-fiqh. Allah berfirman “wa atainahu al-hukma shabiyya”
yaitu yang berarti pengetahuan dan pemahaman, ini apa yang dikemukakan yahya
ibn zakariya yaitu bentuk masdar dari hakama yahkumu.
Sebuah
hadist berbunyi “inna min al-syi’ri lahukman wa inna min al-bayani lasihran”,
dalam sebuah riwayat “inna min al-syi’ri lahikmatan” yang berarti al-hukm. Juga
hadis yang berbunyi “al-khilafatu fi quraisy wa al hukm fi al anshar”. Hadis
tersebut menghususkan kaum anshar dengan al hukm, karena mayoritas Fuqaha dari
para sahabat adalah dari kaum anshar. Seperti Muadz bin jabal, Ubay bin ka’ab
dan Zaid bin Tsabit.
Ketiga:
al-hukm yang berarti al-man’u atau mencegah dari kelaliman. Orang arab berkata:
hakamtu, ahkamtu dan hakkamtu dengan ma’na mana’tu ( saya mencegah ), maka
seorang pencegah diantara manusia disebut al-hakim, karena dia mencegah orang
lalim untuk berbuat kelaliman. Dikatakan “hakamtu al-dabbata wa ahkamtuha” saya
kendalikan tunggangan ini jika dia bisa mencegahnya. Maka al-hakamah berarti
tali kekang yang dipasang oada hidung atau mulut kuda sehinga mencegah kuda
dari menyalahi perintah penunggangnya. Prularnya adalah hukam.
Keempat:
al-hukm dengan arti al-qadlau bi al-adl ( putusan secara adil ), prularnya
adalah ahkam. Dia memutuskan suatu perkara hakama yahkumu hukman wa hukmatan.
Maka al-hukmu adalah bentuk mashdar dari hakama “bainahum” yahkumu yang berarti
memutuskan perkara baik atau buruk itu bagi objeknya. Al-Azhari berkata:
al-hukmu: al-qadlau bi al’adl Al-Nabighah berkata: jadilah seorang hakim
seperti seorng wanita dari desa jika saya berkata maka saya benar, sama seperti wanita ini yang
jika melihat burung dara dan menghitungnya dia tidak salah berapa jumlahmya.
B.
Makna Epistemologi Al-Syar’u
Secara
epistimologi lafadz al-syar’u dan al-syariatu mempunyai beberapa padanan
diantaranya: ad-din ( agama ), al-thariq, al-minhaj, al-madzhab, al-sunah (
yang semua bermakna jalan yang harus ditempuh atau dilalui )
Di
dalam lisan al-arab: “al-syir’atu dan al-syari’atu dalam perkataan bangsa arab
adalah tempat mengalirnya air bisa juga sumber mata airyang dilalui manusia,
maka manusia akan minum darinya dan mengambil airnya. Bahkan akan memerintah
hewan ternaknya untuk menyebranginya dan minum air dari aliran tersebut. Orang
arab tidak menamakn alian air ini dengan al-syari’ah kecuali jika airnya penuh
dan alirannya tidak terputus.
Al-syariatu
dan al-syar’u dengan demikian adalah apa yang ditetapkan Allah Swt dari agama
dan diperintahkan untuk dikerjakan seperti puasa shalat haji zakat dan seluruh
amal kebajikan yang diambil dari lafadz
syathi al-bahr, diriwayatkan oleh Kara. Yang sesuai dengan firman Allah Swt
“tsumma ja’alnaka minkum ala syariatin min al-amri”, juga firman Allah Swt “li
kullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan”. Dikatakan dalam tafsirnya:
al-syir’atu adalah agama dan al-minhaju adalah jalan tetapi dikatakan pula
bahwa al-syir’atu dan al-minhaju keduanya berarti jalan, dan jalan dalam kontek
ini adalah agama.
Dalam
kamus al-muhith “al-syari’atu adalah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk
para hambanya dan sesuatu yang lurus nampak jelas dari berbagai jalan seperti
lafadz al-syir’ah dengan kasrahnya syin, sama persis dengan lafadz al-itbah dan
murid al-syaribah seperti al-musri’ah.
Sedangkan
dalam al-misbah al-munir “al-syir’ah berarti agama, al-syar’u dan al-syariatu
juga berarti sama, diambil dari kata al-syariah yang berarti tempat dimana
manusia menimba air. Dinamakan demikian karena jelas dan terangnya. Bentuk
prularnya adalah syara’I dan syara’a Allahu lana kadza-yasyra’uhu berarti
menjelaskan atau menerangkannya.
C.
Al-Hukm Al-Syar’i
Sebelum
kita membahas terminologi al-hukm al-syar’i, menurut ulama usul fiqh terdapat
dua kelompok madzhab ulama usul fiqh, kelompok yang menyakini akan kalam nafsi sejak dari zaman azali dan kelompok yang tidak
menyakininya. Karena perbedaan mereka dalam terminologi al-hukm al-syar’I
disebabkan oleh perbedaan kenyakinan mereka atas tetapnya kalam nafsi bagi pemiliknya sejak zaman azali. Madzhab mayoritas ulama usul fiqh memberikan terminologi
ul-hukm al-syar’ie yaitu “ khitab Allah
yang berhubungan dengan tingkah laku para mukallaf ( al-muta’allaqu bi af’ali
al-mukallafin ) mengenai suatu permintaan ( al-iqtidha’), pilihan ( al-takhyir
) dan al-wadh’u”. ini merupakan definisi yang paling bagus.
Al-khithab
secara bahasa berarti perkataan yang bermanfaat kepada orang lain jika dia
mendengarnya, karena bentuk masdar
dari khataba
yukhatibu khitaban wa mukhathabatan. Apabila khataba berbentuk ism maf’ul atau al-mukhatabah bihi maka berarti perkataan yang bermanfaat yang
tertuju kepada orang lain untuk memahamkan.
Sedangkan
secara istilah ilmu ushul al-khitab digunakan untuk perkataan yang dapat
digunakan untuk memberikan pemahaman,
baik pemahaman tersebut melalui aksi ( amal ) atau tidak yang terpenting adalah
proses pemahaman.
Ulama
ushul fiqh menginginkan definisi diatas adalah makna pengistilahan karena
menghendaki al-khitab adalah kalam allah al-nafsy yaitu mengisyaratkan lafadz
perkataan allah atau yang lainnya dari dalil-dalil syar’i.
(
fi al-azali ) menjadi maushuf karena dapat digunakan sebagai pengarah terhadap
aksi, jika terdapat mukalaf melalui sikap pembebanan setelah diutusnya rasul,
sebagaimana dapat digunakan sebagai sarana pemahaman.
(
al-khitab ) adalah jenis dari definisi yang memuat seluruh khitab, apakah
berasal dari Allah atau dari yang lain seperti manusia, jin, dan malaikat.
Penambahan lafadz jalalah ( Allah ) setelah al-khitab menjadi pengikat pertama
dalam definisi, jika al-khitab dari selain Allah maka perkataan mereka tidak
disebut sebagai al-hukm al-syar’ie.
D.
Pembagian Hukum Syar’ie
Menurut
ahli usul fiqh hukum syar’ie bukanlah satu macam, akan tetapi terbagi menjadi tiga macam:
1. Al-iqtidla’:
berarti mengandung permintaan yang mengerjakan sesuatu atau meninggalkan
sesuatu, secara pasti dan merupakan suatu keharusan. Maka al-iqtidla’ memuat
empat macam yaitu al-ijab dan al-nadb yaitu jika permintaan untuk
mengerjakan sesuatu tersebut secara pasti atau tidak, serta al-tahrim dan al-karahah jika permintaan untuk
meninggalkan sesuatu tersebut secara pasti atau tidak, atas dasar ini maka
firmannya “ wallahu khalaqakum wa ma
ta’malun “ tidak termasuk dalam al-iqtidla’ ini karena berhubungan dengan
tingkah laku dari asal penciptaan bukan menunjukan thalab.
2. Al-takhyir:
penyamarataan antara pelaksanaan sesuatu atau meninggalkannya tanpa ada
prioritas pada salah satu antara keduanya.
3. Al-wadl’u:
khitab yang menerangkan bahwa sesuatu perkara berkaitan erat dengan perkara
yang lain, baik menjadi sebab terjadinya sesuatu atau menjadi syarat di dalam
perkara lain tersebut atau menjadi penyegah dari perkara yang lain.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan
bentuk-bentuk sub-sub judul di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat hubungan antara ketiga
sub-sub judul tersebut. Bahwasannya epistemologi lafadz
al-syar’u dan al-syariatu mempunyai beberapa padanan diantaranya: ad-din (
agama ), al-thariq, al-minhaj, al-madzhab, al-sunah ( yang semua bermakna jalan
yang harus ditempuh atau dilalui )
Di dalam lisan
al-arab: “al-syir’atu dan al-syari’atu dalam perkataan bangsa arab adalah
tempat mengalirnya air bisa juga sumber mata airyang dilalui manusia. Sedangka pembagian
hukum syar’ie terbagi menjadi tiga bagian, pertama Al-iqtidla
( permintaan ), kedua Al-takhyir dan yang terakhir al-wald’u.
B.
Saran-Saran
Penulis
menyadari akan keterbatasan dari keilmuan dan pemahaman dalam memahami dari
materi keterampilan membaca, maka penulis meminta dengan sangat agar bapak
dosen dapat membantu menjelaskan dari isi makalah ini agar keilmuan yang kita
dapat menjadi lebih sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Membangun Metodologi Ushul Fiqih, 2000,
Ciputat Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar