Hadis-hadis teaturahmintangsil
1. Keutamaan
Silaturrahim
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي
الْجَنَّةَ قَالَ مَا لَهُ مَا لَهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ ” .رواه البخاري .
Dari Abu
Ayyub Al-Anshori r.a bahwa ada seorang berkata kepada Nabi saw., “Beritahukanlah
kepadaku tentang satu amalan yang memasukkan aku ke surga. Seseorang berkata, “Ada apa dia? Ada apa dia?” Rasulullah
saw. Berkata, “Apakah dia ada keperluan? Beribadahlah kamu kepada Allah jangan
kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tegakkan shalat, tunaikan zakat,
dan ber-silaturahimlah.” (Bukhari).
Penjelasan :
Ar-Rahim :
bermakna kerabat dekat. Mereka adalah yang memiliki nasab baik mewarisi atau
tidak, memiliki hubungan atau tidak.
Abu Ayyub :
bernama Kholid bin Zaid dari kaum Anshar ra.
Yang dimaksud
seseorang itu adalah Abu Ayyub. Beliau menyebutkan dengan nama samaran dan
menyembunyikannya nama aslinya untuk kebaikan dirinya. Pendapat yang lain
mengatakan dia adalah Ibnu Al-Muntafiq bernama Luqait bin Shabrah.
Para sahabat
berkata ada apa gerangan ماله ماله kata ini menunjukkan kata tanya استفهام dan
diulang-ulangnya dua kali untuk menunjukkan kata penegasan للتأكيد.
Yang dimaksud
perkataan Rasulullah saw. Arobun adalah pertanyaan karena kebutuhan
yang mendesak.
Kata arobun
ma lahu merupakan
satu kata, adapun huruf mim yang berada ditengah-tengah antara kata arob dan lahu merupakan kata tambahan. Pendapat yang
lain merupakan kata mim ini tersirat dan terpesan dengan arti besar dan
mendesak sehingga arti secara keseluruhan adalah kebutuhan yang sangat besar
dan mendesak.
Dalam riwayat
lain ariba berarti
butuh yang artinya dia bertanya karena ada kebutuhan atau bisa juga berarti
bijak terhadap pertanyaan dan jenius dalam bertanya.
Di riwayat
lain ariba berarti
kehati-hatian contohnya, huwa ariba artinya dia pintar dan hati-hati
terhadap apa yang ia tanya karena bertanya membawa manfaat baginya.
Yang dimaksud
menunaikan zakat adalah zakat wajib ini terbukti dengan dihubungkannya kalimat
shalat dengan zakat.
Yang dimaksud
dengan silaturahim adalah kamu berbuat baik kepada kerabatmu sesuai dengan
keadaanmu dan keadaan mereka baik berupa infak, menyebarkan salam, berziarah
atau membantu kebutuhan mereka. Makna secara keseluruhan silaturahim adalah
memberikan yang baik kepada orang lain dan menolak sedapat mungkin hal-hal yang
buruk terhadap mereka sesuai kemampuan.
Digabungkan
kata shalat dengan sesudahnya juga berarti menggabungkan kata khusus dengan
umum, ini untuk menunjukkan perkataan baginda Rasulullah saw. mencangkup
seluruh ibadah.
2. Berdosa
bagi orang yang memutuskan tali silaturahim
عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ إِنَّ جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ
أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ رَحْمٍ. رواه البخاري ، ومسلم ، وأبو داود ،
الترمذي .
Dari Jubair
bin Muth’im ra. dari Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak
masuk surga pemutus silaturrahim.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan
At-Turmuzi).
Penjelasan :
Zubair bin
Muth’im bin ‘Adi beliau adalah salah seorang sahabat yang paling mantap nasab
di antara suku Quraisy dan tentunya paling mulia dibandingkan suku Arab yang
lainnya. Beliau juga menyatakan bahwasannya ia pernah mengambil ilmu nasab
(silsilah) dari Abu Bakar As-Shidiq ra. dan Abu Bakar adalah salah seorang yang
paling mahir dalam hal nasab di dunia Arab. Adapun ayah beliau yang bernama
Muth’im pernah memberikan perlindungan pada Rasulullah saw. tatkala baginda
datang dari Tha’if dan Mut’im juga termasuk pembesar kabilah bani Tsaqib.
Zubair masuk Islam di antara tahun Hudaibiyah dan tahun Fathu Makkah. Meninggal
pada masa kekhilafahan Muawiyah. Dan ia juga salah seorang sahabat yang lembut
dan berwibawa.
Tidak masuk
surga artinya surga yang Allah sediakan bagi orang-orang shalih di akhirat
nanti.
Yang dimaksud
dengan pemutus silaturahim adalah pemutus hubungan kerabat.
Maksudnya, ia
tidak akan masuk surga pertama kali bersama para pendahulunya bagi orang yang
tidak menghalalkan pemutusan hubungan tali silaturahim. Adapun mereka yang
meyakini dibolehkannya pemutusan silaturahim tanpa sebab padahal dia tahu
keharamannya maka ia tidak berhak masuk surga selamanya dan hadits ini
jelas-jelas menyatakan hal demikian.
—oo0oo—
3. Akan
dilapangkan rezeki bagi orang yang menyambung tali silaturahim.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ
وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رواه البخاري ومسلم)
Dari Anas bin
Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa ingin dilapangkan
baginya rezekinya dan dipanjangkan untuknya umurnya hendaknya ia melakukan
silaturahim.” (Bukhari dan Muslim).
Penjelasan :
Dilapangkan
bisa berarti juga di luaskan
Huruf ba’
dalam kata bisilaturahim adalah berarti sebab maksudnya dengan sebab
silaturahim ia bisa berbuat baik dengan kerabat
Silaturahim
bisa juga berarti Al-Ihsan artinya dengan sebab silaturahim ia berbuat baik
dengan kerabat seolah-olah orang yang berbuat baik dengan kerabat disambungkan
kembali kebaikannya antar mereka. Oleh sebab itu kata ihsan boleh juga
diartikan silaturahim.
Dalam satu
riwayat disebutkan man ahabba dan didalam riwayat lain disebutkan man
sarrohu
Dalam satu
riwayat disebutkan fi atsarihi sementara dalam riwayat lain fi
ajalihi. Atsar juga bisa disebut ajal yang artinya jejak. Jadi arti secara
keseluruhan adalah ajal dan jejak itu mengikuti umur manusia karena orang yang
mati itu tidak ada gerak dan tidak ada jejak serta tapak di muka bumi.
Hendaknya
kita menyambung hubungan silaturahim pada kerabatnya dengan bijak. Baik dengan
harta ataupun dengan pelayanan dan dengan berbagai bentuk silaturahim yang
mengantarkannya untuk taat dan terhindar dari perbuatan maksiat sehingga akan
dikenang nilai kebaikannya setelah meninggal dunia, sebab orang yang dikenang
kebaikannya oleh manusia setelah meninggal dunia merupakan umur kedua setelah
kematiannya.
Firman Allah
:
“Tiap-tiap
umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Al-A’raf : 34)
· Makna silaturrahim
Silaturrahmi tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung dan rahim yang berarti rahim wanita, dan
dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat. Jadi silaturrahim bermakna:
menyambung hubungan dengan kerabat. Dari keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa
secara bahasa Arab dan istilah syar’i, penggunaan kata silaturrahim untuk makna
sembarang pertemuan atau kunjungan dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan
kerabat, sebenarnya kurang pas.
· Motivasi untuk bersilaturrahim
Silaturrahim bukanlah murni adat istiadat,
namun ia merupakan bagian dari syariat. Amat bervariasi cara agama kita dalam
memotivasi umatnya untuk memperhatikan silaturrahim. Terkadang dengan bentuk
perintah secara gamblang, janji ganjaran menarik, atau juga dengan cara ancaman
bagi mereka yang tidak menjalankannya.
Allah ta’ala memerintahkan berbuat baik pada
kaum kerabat,
“وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ
شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ
يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.
Artinya: “Sembahlah
Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Sertaberbuat
baiklah kepada kedua
orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba
sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan
membanggakan diri”. QS.
An-Nisa’: 36.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim merupakan
pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,
“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Beliau jugamenjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah
keluasan rizki dan umur yang panjang,
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ
وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan
rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
· Hakikat silaturrahim
Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk
orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan,
sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan,
sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar
bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup
kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan
silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman
mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ
الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.
“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki)
bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka
menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan
kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung mengandung makna
menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum
kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang
menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat
dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam
kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita
harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk
berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang
cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan
memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang
dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ،
إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ
وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”. فَقَالَ:
“لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ
مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang yang mengadu kepada
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,
“Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka
memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka
menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.
“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau
katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya
engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi
silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
§ Penyambung hakiki
silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
§ Pembalas ‘jasa’. Yakni
mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan
berbuat baik manakala ia dibaiki.
§ Pemutus silaturrahim.
· Konsekwensi silaturrahim
Silaturrahim bukan hanya diwujudkan dalam
bentuk berkunjung ke rumah kerabat atau mengadakan arisan keluarga, namun ia
memiliki makna yang lebih dalam dari itu. Silaturrahim memiliki berbagai
konsekwensi yang harus dipenuhi seorang insan, di antaranya:
1. Mendakwahi kerabat
Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas
utama untuk didakwahi. Allah ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara’: 214.
Dengan bahasa yang santun, ingatkanlah kerabat
kita yang masih percaya dengan jimat, yang masih gemar pergi ke dukun, yang
shalatnya masih bolong-bolong, yang belum berpuasa Ramadhan, yang masih enggan
mengeluarkan zakat dan yang semisal. Berbagai nasehat tadi bisa disampaikan
kepada yang bersangkutan secara langsung, atau bisa pula ditransfer melalui
siraman rohani yang biasa diletakkan di awal rentetan acara arisan atau
pertemuan berkala keluarga.
Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya
saling menasehati inilah yang akan ‘abadi’ hingga di alam akhirat kelak. Adapun
persaudaraan yang berkonsekwensi mengorbankan prinsip ini; maka itu hanyalah
persaudaraan semu, yang justru di hari akhir nanti akan berbalik menjadi
permusuhan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ”.
Artinya: “Teman-teman
karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali
mereka yang bertakwa”. QS.
Az-Zukhruf: 67.
2. Saling bantu-membantu
Orang yang membantu kerabat akan mendapat
pahala dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ،
وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ”.
“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala)
sedekah. Sedangkan sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala) dobel; pahala
sedekah dan pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai
hadits ini hasan.
Berbuat baik terhadap kerabat, selain
berpahala besar, juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Andaikan
kita rajin menyambung silaturrahim, gemar memberi dan berbagi dengan kerabat,
selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai kebahagiaan dan kesedihan
mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar omongan kita serta menerima
nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan perhatian ekstra kita
pada mereka.
3. Saling memaafkan kesalahan
Dalam kehidupan interaksi sesama kerabat,
timbulnya gesekan dan riak-riak kecil antar anggota keluarga merupakan suatu
hal yang amat wajar. Sebab manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari salah
dan alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi tidak wajar manakala luka
yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap dipelihara dan tidak segera diobati
dengan saling memaafkan.
Betapa banyak keluarga besar yang terbelah
menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan
sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat
dianjurkan dalam Islam.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah
pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan
orang-orang jahil”. QS.
Al-A’raf: 199.
Namun ada suatu praktek keliru dalam
mengamalkan sifat mulia ini yang perlu diluruskan. Yaitu: mengkhususkan hari
raya Idhul Fitri sebagai momen untuk saling memaafkan. Jika minta maaf tidak
dilakukan di hari lebaran seakan-akan menjadi tidak sah, atau minimal kurang
afdhal. Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di bulan Syawal. Padahal kita
diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak menumpuk-numpuk
kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru di’rapel’ di hari lebaran.
Jika belum sempat berjumpa dengan idhul fitri, lalu keburu dipanggil Allah,
alangkah malangnya nasib dia di akherat!
Lihat: Lisân
al-’Arab karya Ibn
Manzhur (XV/316).
Lihat: Mujmal
al-Lughah karya Ibn
Faris (II/424) dan Mufradât
Alfâzh al-Qur’an karya
ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 347).
Lihat: Fath
al-Bâry Syarh Shahih al-Bukhary karya
Ibn Hajar al-’Asqalany (X/510-511).
Perumpaan akan apa yang akan menimpa mereka
berupa dosa, sebagaimana orang yang memakan abu panas akan merasa kesakitan.
Lihat: Bahjah an-Nâzhirîn
Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn karya
Syaikh Salim al-Hilaly (I/394-395).
Lihat: Fath
al-Bâry (X/520).
Lihat: Fiqh
al-Akhlâq wa al-Mu’âmalât ma’a al-Mu’minîn karya Syaikh Mushthafa
al-’Adawy(IV/13).
Anjuran Menyambung Silaturahim
Dari
Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْ خَلْقِهِ قَالَتْ الرَّحِمُ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَهُوَ لَكِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Sesungguhnya Allah menciptakan seluruh makhluk. Sampai ketika Allah selesai menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berkata, “Inikah tempat bagi yang berlindung kepadanya dari terputusnya silaturahim?’ Allah menjawab, “Benar. Tidakkah kamu senang kalai Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu?” Rahim menjawab, “Tentu, wahai Rabb.” Allah berfirman, “Kalau begitu itulah yang kamu miliki.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian mau, maka bacalah ayat berikut ini: Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa maka kalian akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23). (HR. Al-Bukhari no. 5987 dan Muslim no. 2554)
Dari Anas bin Malik radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Al-Bukhari no. 5986)
Dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturrahmi bukanlah orang yang membalas akan tetapi orang yang menyambung silaturrahmi adalah orang yang menyambungnya ketika dia itu terputus.” (HR. Al-Bukhari no. 5991)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang pernah berkata, “Ya Rasulullah, saya mempunyai kerabat. Saya selalu berupaya untuk menyambung silaturahim kepada mereka, tetapi mereka memutuskannya. Saya selalu berupaya untuk berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka menyakiti saya. Saya selalu berupaya untuk lemah lembut terhadap mereka, tetapi mereka tak acuh kepada saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar seperti apa yang kamu katakan, maka kamu seperti memberi makan mereka debu yang panas, dan selama kamu berbuat demikian maka pertolongan Allah akan selalu bersamamu.”(HR. Muslim no. 2558)
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْ خَلْقِهِ قَالَتْ الرَّحِمُ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَهُوَ لَكِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
“Sesungguhnya Allah menciptakan seluruh makhluk. Sampai ketika Allah selesai menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berkata, “Inikah tempat bagi yang berlindung kepadanya dari terputusnya silaturahim?’ Allah menjawab, “Benar. Tidakkah kamu senang kalai Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu?” Rahim menjawab, “Tentu, wahai Rabb.” Allah berfirman, “Kalau begitu itulah yang kamu miliki.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian mau, maka bacalah ayat berikut ini: Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa maka kalian akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23). (HR. Al-Bukhari no. 5987 dan Muslim no. 2554)
Dari Anas bin Malik radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Al-Bukhari no. 5986)
Dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung silaturrahmi bukanlah orang yang membalas akan tetapi orang yang menyambung silaturrahmi adalah orang yang menyambungnya ketika dia itu terputus.” (HR. Al-Bukhari no. 5991)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang pernah berkata, “Ya Rasulullah, saya mempunyai kerabat. Saya selalu berupaya untuk menyambung silaturahim kepada mereka, tetapi mereka memutuskannya. Saya selalu berupaya untuk berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka menyakiti saya. Saya selalu berupaya untuk lemah lembut terhadap mereka, tetapi mereka tak acuh kepada saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar seperti apa yang kamu katakan, maka kamu seperti memberi makan mereka debu yang panas, dan selama kamu berbuat demikian maka pertolongan Allah akan selalu bersamamu.”(HR. Muslim no. 2558)
Penjelasan
ringkas:
Islam menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya. Dan Nabi shalllallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa bukanlah dikatakan menyambung silaturahmi ketika seorang membalas kebaikan orang yang berbuat kebaikan kepadanya, yakni menyambung hubungan dengan orang yang senang kepadanya. Akan tetapi yang menjadi hakikat menyambung silaturahmi adalah ketika dia membalas kebaikan orang yang berbuat jelek kepadanya atau menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.
Islam menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya. Dan Nabi shalllallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa bukanlah dikatakan menyambung silaturahmi ketika seorang membalas kebaikan orang yang berbuat kebaikan kepadanya, yakni menyambung hubungan dengan orang yang senang kepadanya. Akan tetapi yang menjadi hakikat menyambung silaturahmi adalah ketika dia membalas kebaikan orang yang berbuat jelek kepadanya atau menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.
Nabi
shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa balasan disesuaikan dengan jenis
amalan. Karenanya, barangsiapa yang menyambung hubungan silaturahminya maka
Allah juga akan menyambung hubungan dengannya, dan di antara bentuk Allah
menyambungnya adalah Allah akan menambah rezekinya, menambah umurnya, dan
senantiasa memberikan pertolongan kepadanya.
Sebaliknya,
siapa saja yang memutuskan hubungan silaturahimnya maka Allah juga akan
memutuskan hubungan dengannya. Dan ketika Allah sudah memutuskan hubungan
dengannya maka Allah tidak akan perduli lagi dengannya, Allah akan
menjadikannya buta dan tuli, dan menimpakan laknat kepadanya. Dan siapa yang
mendapatkan laknat maka sungguh dia telah dijauhkan dari kebaikan dan rahmat
Allah Ta’ala yang Maha Luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar