BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Farobi adalah seorang komentator
filsafat yunani yang sangat ulung di dunia islam, meskipun kemungkinan besar ia
tidak bisa berbahasa yunani, ia mengenal filusuf yunani, plato, aristoteles dan
plotinus dengan baik.kontribusinya terletak diberbagai bidang seperti
matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik
Al-Farobi dikenal sebagai guru
nkedua setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang beupaya
menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik
yunani klasik deengan islam sert berupaya membuatnya bisa dimengerti dalam
konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah al-madinah
Al-fadilah ( kota atau negara pertama) yang membahas tentang pencapaian kebahagiaan
melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim paling baik menurut
pemahaman plato dengan hukum ilahiyah islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Riwayat Hidup dan karya-karyanya?
2. Bagaimana Pemikiran Al-Farobi?
3. Bagaimana Pemikiran tentang emanasi?
4. Bagaimana Pemikiran tentang kenabian?
5. Bagaimana Pemikiran tentang kenegaraan dan politik?
6. Bagaimana Pemikiran tentang jiwa?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan Bagaimana Riwayat Hidup dan karya-karyanya
2. Menjelaskan Pemikiran Al-Farobi
3. Menjelaskan Pemikiran tentang emanasi
4. Menjelaskan Pemikiran tentang kenabian
5. Menjelaskan Pemikiran tentang kenegaraan dan politik
6. Menjelaskan Pemikiran tentang jiwa
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hidup dan Karya-Karyanya
Nama aslinya
Abu Nasr Muhammad bin Muhsmmad bin Tharkhan. Sebutan Al-farobi diambil dari
nama kota Arab, ia dilahirkn pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang
Iran dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian, ia menjadi perwira
tentaraTurkestan. Oleh karena itu, Al-farobi dikatakan berasal dari keturunan
Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.[1]
Sejak kecilnya,
Al-farobi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan
bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai antara lain ialah bahasa-bahasa Iran,
turkestan, dan kurdistan. Tampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan
Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-farobi meninggalkan negerinya menuju kota baghdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, ubtuk belajar antara lain pada
Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di baghdad, ia memusatkan perhatiannya
pada ilmu logika.
Pertama datang
di Baghdad, hanya sedikit saja bahasa arab yang dikuasainya, ia sendiri
mengatakan bahwa ia belajar ilmu nahwu ( tata bahasa arab) pada Abu Bakar
As-Sarraj, sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farobi
kepadanya.sesudah itu pindah ke Haran, slah satu pusat kebudayaan Yunani di
Asia kecil untuk berguru pada yuhanna bin jilan. Akan tetapi, tidak lama
kemudian, ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami
filaafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika) dan di Baghdad, ia berdiam
selama 30 tahun. Selama waktu itu, ia memakai waktu untuk mengarang, membeikan
pengajaran, dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa
itu, antara lain Yahya bin Ady
Pada tahun 330
H (941 M) ia pindah ke Damsyik, dan disni, ia mendapat kedudukan yang baik dari
saifudaulah, kholifah dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehinga dia diajak
turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia
menetap dikota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.
Al-Frarobi luas
pngetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dn mengarang buku-buku
dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang
tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia,
astronomi, komiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan semantik.
Menurut
Massignon, orientalis Prascis, Al-Farobi adalah seorang filosof islam yang
pertama dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia, memang Al-Kindi membuka pintu
filsafat Yunani bagi dunia Isala. Akan tetapi, ia tidak menciptakan sistem (nahzab)
filsafat tertentu, seang persoalan-persoalan yang dibicarakan masih banyak yamg
belum memperoleh pemecahan yang memuasaka. Sebaliknya, Al-Farobi telah dapat
menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap yang memainkan peranan yang
penting dalam dunia islam seperti peranan yang dimiliki oleh plotinus dagi
dunia barat, Al-Farobi menjadi guru bagi ibnu sina, ibnu rusdy, dan
filosof-filosof islam lain yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, i mendapat
gelar “guru kedua” (al-mu’allim ats-tsani) sebagai kelanjutan dari
nAristoteles yang mendapat gelar “guru pertama” (al-mu’allim al-awwal).[2]
Pada abab
pertengahan, Al-Farobi menjadi sangat terkenal, sehingga orang-orang yahudi
banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan dia salain ke dalam bahasa
ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan
Eropa, disamping salinan-salinan dalam bahasa latin, baik yang disalin lansung
dari bahasa Arab maupun dari bahsa ibrani tersebut.
Sebagian besar
karangan-karangan Al-Farobi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap
filsafat Aristoteles, plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisika,
etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang dipirkannya, ia
lebih terkenal sebagai pengulas Aristolteles. Ibnu sina pernah mempelajari buku
metafiika karangan Aristoteles lebih dari empat kali, tetapi belum juga
mengerti maksudnya, setelah membaca buku karangan Al-Farobi yang berjudul Aghradh
Kitabi ma Ba’da Ath-Thabi’ah
Diantara
karangan-karangannya ialah:
1.
Aghrudu
ma Ba’da Ath-thabi’ah
2.
Al-Jam’u
baina Ra’yani Al-Hkimain (mempertemukan
pendapat kedua filosofi; maksudnya plato dan aristoteles)
3.
Tahsil
Al-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
4.
‘uyun
Ahl-li Madinah L-Fadilah
5.
Ara-u
ahl-il nmadinah Al-rudlilah
6.
Ih-sya’u
Al-ulum (statistik ilmu)
B.
Pemikiran Al-farobi
Al-Farobi dalam
karyanya tashil as-sa’adah menyebutkan,’ untuk menjadi filusuf yang betu-betul
sempurna’ seorang harus memiliki ilmu teoritis dan daya untuk mrnggali
ilmu-ilmu itu demi kemamfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka.
Al-Farobi mengikuti Pluto, berpendirian bahwa seorang filusuf sejtinya dibebani
tugas untuk mengkomonikasi filsafat mereka kepada orang lain, dan bahwa tugas
ini sangat penting untuk memenuhi cita ideal filsafat.
Atas dasar itu,
Al-Farobi mendenifisikan filsafat sebagai Al-ilmu bilmaujadaat bima Hiya al
maujadaat, yang berarti suatuilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari
segala yang ada ini. Bedasarkan lapangannya Al-Farobi membagi filsafat menjadi
dua bagian:
1.
Al-falsafah
Nadoriyah (filsafat teori)
yaitu mengetahui suatu yang ada, dimana seorang tidak bisa mewujudkan
dalam perbuatan. Bagian ini meliputi matematika, ilmu fisika dan metafisika.
Masing-masing dari ilmu tersebut mempunyai bagian-bagian yang hanya perlu
diketehui saja
2.
Al-falsalah
al-amaliyah (filsafat amalan),
Yaitu
mengetahui sesuatu yang seharusnya diujudkan dalam perbuatan dan menimbulkan
kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagian yang baik. Bagian amalan ini
adakalanya berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya
dikerjakan oleh tiap-tiap orang. Yaitu yang dinamakan ilmu Ahlak (etika)
adakalanya berhubungan dengan perbuatan baik yang seharusnya di kerjakan oleh
penduduk negri yang disebut filsafat pilitik.
Tujuan
terpenting dalam mempelajari filsafat menurut Al-farobi, ialah mengetahui tuhan
bahwa ia Esa dan tidak bergerak, bahwa ia memjadi sebab yang aktif bagi semua
yang ada, bahwa ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksaan dan
keadilan. Wujud selain tuhan yaitu mahluk adalah wujud yang tidak sempurna.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang banyak mahluk adalah pengetahuan yang
tidak sempurna. Al-farobi mengatakan bahwa filsafat hanya bisa tercapai dengan
kepandaian membedakan yakni antara benar dan salah, dan kepandaian ini hanya
bisa tercapai dengan kekuatan pikiran dalam mengetahui kebenaran.
Al-farobi
berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam pada hakikatnya hanya
satu, yaitu sama-sama memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu
macam dan nserupa pada hakikatnya. Al-farobi berhasil meletakkan dasar filsafat
kedalam ajaram islam menurutnya, para filosof muslim meyakini Al-Qur’an dan
Hadis adalah hak yang benar dan filsafat juga adalah benar. Ia menegaskan bahwa
antara keduanya tidak bertentangan, bahkan cocok dan serasi karena sumber
keduanya berasal dari akal aktif hanya berbeda memperolehnya.
C.
Pemikiran Tentang Emanasi
Al-Farbi manemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak alam yang bersifat
materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti ateri dam Maha sempurna. Dalam
filsafat Yunani, Tuhan buakanlah pencipta alam, melaikan Penggerak Pertama (prime
cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam doktrin
ortodok Islam (al-mutakallimin), Allah adalah Pencipta (shani, Agent),
dari menciptakan dari tiada menjadi ada (ceiro ex nihillo).. unutk mengislamkan
doktrin ini Al-Farabi, juga filosof lainnya mencari bantuan kepada Neoplatonis
monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser
menjadi Allah pencipta.. dengan arti, Allah menciptakan alam semenjak alam
azali, energi alam berasal dari energi yang kadim, sedangkan susunan materi
yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof muslim, kun Allah
yang temaktub dalam Al-Quran di tunjukan kepada syai (sesuatu) bukan kepada Iasyai
(nihil).
Telah dikemukakan bahwa
Allah adalah Aql, Aqil, dan Ma’qul.
Ia sebut Allah adalah Aql karena Allah pencipta dan pengatur alam, yang
beredar menurut aturan yang luar biasa rapi dan teratur tanpa cacat sedikitpun,
mestilah suatu subtansi yang memiliki daya berpikir yang luar biasa. Oleh sebab
itu, cara Allah menciptakan alam ialah dnegan ber-ta’aqqul terhadap
zat-Nya dengan proses sebagai berikut.
Allah Mahasempurna, ia
tidak memikirkan dan berhubungan dengan alam karena terlalu rendah bagi-Nya
untuk memikirkan dan berhubungan dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup
memikirkan – membedakan antara term aql dan fikr dalam terminologi Al-Quran—zat-Nya, maka
terciptalah energi yang maha dasyat secara pancaran dan dari energi inilah
terjadinya akal pertama (jugamemandat dalam bentuk materi). Akal pertama
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kedua dan berpikirkan dirinya
menghasilkan langit pertama. Akal kedia berpikir tentang Allah menghasilkan
Akal ketiga dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan bintang-bintang. Akal ketiga berpikir tentang Allah menghasilkan
Akal keempatdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Saturnus. Akal keempat
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kelima dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Yupiter. Akal kelima berpkir tentang Allah menghasilkan akal
keenamdan berpikir tentang dirinya menghasilkan Mars. Akal keenam berpikir
tentang Allah menghasilkan Akal ketujuh dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Matahari. Akal ketujuh berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kedelapan dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Venus. Akal kedelapan
berpikir tentang Allah menghasilkan Akal kesembilan dan berpikir tentang dirinya
menghasilkan Merkuri. Akal kesembilan berpikir tentang Allah menghasilkan Akal
kesepuluh dan berpikir tentang dirinya menghasilkan Rembulan. akal kesepuluh,
karena adanya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat lagi menghasilkan akal
sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh, dan metri pertama menjadi
dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Akal kesepuluh ini
disebut dengan Akal Fa’al (Akal aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi
bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang mengurusi kehidupan di bumi.
Di sini yang perlu
dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi mengemukakan emanasi ini?
Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan Allah, bahkan melebihi
Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan mahiah,
tetapi juga lebih jauhlagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia
berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan
secara langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak
sempurna dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya
timbul satu, yakni Akal pertamaberfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan
banyak sehingga dapat dihindarkan hubungan antara Ynag Esa dan yang banyak.[3]
D. Pemikiran Tentang Kenabian
Al-farabi adalah filosof muslim pertama yang
mengemukakan filsafat kenabian secara
lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oelh filosof-filosof sesudahnya.
Filsafatnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya
denga ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, bila
kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, oobjek indrawi dari luar tidak
akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al.
Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada halangan
bainya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al
pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian maka ia dapat nubuwwat terhadap
perkara-perkara ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang
nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika
berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran
dalam bentuk wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal
Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril.
Sementara itu filosof dapat berkomnikasi dengan Allah melalui akal perolehan
yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn
hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.[4]
Dari sisi pengetahuan
dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan
nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran
wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya
sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril).
Demikian pula dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat
terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan
mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas
telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan
menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di
“pentas” filsafat Islam.[5]
Manusia menurut
Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi Rabi’, bersifat sosial
yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang berkecenderungan alami
untuk hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam
mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Hal ini karena manusia tidak
mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama denagn
pihak lain.
Pendapat Al-Farabi
tentang tujuan hidup bermasyarakat memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya
sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles yang
mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.
Pandangan ini didasari
oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama lainnnya,
disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan lingkungan tempat
mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh
dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecendurangan
serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan
Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai pandangan berbeda-bedanya
manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang dijadikannya untuk
memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya.jika semua
manusia bersamaan dalam segala hal, pasyilah membawa kemusnahan mereka.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja
yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti
paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang
bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang utama adalah
negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu yang meneliti berbagai
bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan
manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang
dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenanya)
tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan
sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang
nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan
dijadikan pedoman hidup.[6]
jiwa manusia berasal
dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan
keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing
keduanya mempunyai sebstansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa
binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal, berasal dari alam ilahi, sedanglan jasad
berasal dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Tentang bahagia dan
sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni jiwa yang
kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut
Al-Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam
kejiwaan) dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal dengan
Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pernah
melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama lengkap Al-Farabi adalah bu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn
Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota
Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki[8][14]. Di kalangan
orang-orang Latin Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagau Abu Nasrh (Abunaser),
sedangkan sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farb. Tempat ia
dilahirkan.
Al-Farabi yang dikenal
sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan,
seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu
alam, ketuhanan, fiqih, dan mantiq. Oleh karena itu, banyak karya yang
ditinggalkan Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak diketahui seperti
karya Ibnu Sina. Hali ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berbentuk
risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar
yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya yang hilang, dan yang masih
dapat dibaca dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun tidak, kurang
lebih 30 judul saja. Diantar judul karyanya adalah sebagai berikut:
1.
Al-Jam baina Ra ‘ayay Al-Hikimain Aflathun wa Arishur;
2. Thaqiq
Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah;
3. Syara
Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani;
4. At-Ta’liqat;
5. Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla
Ta’allumi Al-Falsafah;
6. Kitab Tahsil As-Sa’adah;
7. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqah;
8. ‘Uyun Al-Masa’i;
9. Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
10 Maqalat fi Ma’ani Al-Aql;
11. Ihsa Al-Ulum wa At-Ta’rif bi Aghradita;
12. Fushul AlHukm;
13. Risalah Al-Aql;
14. As-Syiasah
Al-Madaniyah;
15. Al-Masa’il
Al-Falsafiyah wwa Al-Ajwibah Anha.
Adapu pemikiran Filsafat Al-Farabi ialah tentang :
1. ketuhanan
2. emanasi
3. Kenabian
4. Kenegaraan
5. akal
6. Jiwa
DAFTAR
PUSTAKA
Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, bandung, pustaka setia,
2008
Dedi Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam Bandung:
CV Pustaka Setia
H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam Jakarta:
PT Rajagrapindo Persada
Supriyadi, 2009, Pengantar Filsafat Islam,
(Bandung, Pustaka Setia)
[1] Atang
Abdul Hakim, Filsafat Umum, bandung, pustaka setia, 2008, hlm. 447.
[2] Ibid,
hlm. 448-449
[3] Dedi
Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka
Setia). Hal 83-84
[4] H.
sirajudin , 2012, “filsafat Islam”,
(Jakarta: PT Rajagrapindo Persada).
Hal 78-79
[5] Ibid.
Hlm 79-81
[6] Supriyadi,
2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia). Hal 96-98
[7] H.
sirajudin , 2012, “filsafat Islam”,
(Jakarta: PT Rajagrapindo Persada) hal 87-88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar